Tuesday, August 22, 2006

Selasa 22 Agustus 2006 Siang

Jam makan siang terasa lama sekali sampainya. Huh masih jam sepuluh pagi. Masih lama. Akhirnya aku fokuskan saja diriku ke pekerjaan yang sudah menunggu. Hatiku agak sedikit teralihkan dengan banyaknya pekerjaan. Tapi ketika waktu sudah menunjukkan hampir jam duabelas siang hatiku mulai tak karuan. Bagaimana ya kalau aku nanti ketemu dengan dia. Malu gak ya. Ah bodo amat.

Jam duabelas sudah lewat. Aku pura-pura nunggu temen untuk makan siang di atas. Maksudku biar dia yang makan duluan jadi aku gak terlalu kikuk kalau bertemu dengan dia.

Jam duabelas lewat dualima aku baru naik ke lantai atas menuju kantin. Aku langsung menuju ke meja makanan. Sengaja aku tidak melihat kiri-kanan. Lurus saja menuju ke meja kantin. Aku ambil makanan dan kemudian mencari tempat duduk di tempat biasa.

Ketika aku akan berjalan ke sana aku lihat dia sedang makan dan duduk di belakang meja yang biasa aku pakai. Wah bagaimana ini. Aku jadi grogi. Aku putuskan saja untuk duduk di meja yang dekat ke meja kantin. Sengaja aku mengambil tempat tepat di depan dia duduk. biar aku bisa melihat mukanya. Melepas rasa kangen ini. Tapi nanti dia memperhatikan aku nggak ya.
Ah ada temanku ini. Aku biarkan dia duduk didepanku. Jadi dia sedikit terhalang oleh temanku. Tapi aku masih bisa memperhatikan dia. Gerak-geriknya, Tanganya yang sedang memegang makanan. Dan yang lainnya deh yang aku bisa lihat. Sesekali juga terlihat raut wajahnya. Matanya, bibirnya. Aku memang tidak bisa melupakan dia. Hatiku selalu bergetar apabila menatap wajahnya. Untung nya dia selalu cuek tidak pernah melihatku. Jadi aku leluasa untuk memperhatikan dia. Atau mungkin dia juga sesekali melihatku ketika aku sedang menyuap makanan. Who knows.

Akhirnya makanan yang kurang berselara ini pun hampir habis. Aku lihat dia mulai beranjak dari duduknya karena temannya mengajaka dia pergi. Jadi mungkin dia tidak ada teman kalau temannya tersebut pergi. Padahal kalau dia sendiri akan aku dekati dia. Eh tapi jangan ah. Nanti orang-orang pada tahu, aku tak mau hal itu terjadi.

Dia mulai beranjak pergi. Berjalan menuju keluar pintu kantin. Dia sempat melirik. Entah melirik siapa. Atau memastikan saja bahwa aku ada di situ? Huh geernya diriku. Dia memakai kemeja lengan panjang warna pink dan memakai celana hitam. Ah kenapa aku selalu merindukannya. Dia selalu terlihat cantik dan menarik dimataku. Akhirnya dia lenyap di balik pintu keluar kantin menuju ke bawah ke lantai dua tempatnya bekerja. Entah kenapa hatiku agak sedikit lega. Tapi juga sedikit kecewa karena tidak bisa berlama-lama melihat dia.

Suatu anomali yang membingungkan. Disatu sisi kamu ingin melihat dia tapi disisi lain kamu ingin menghindari dia karena malu. Wake up man. You are grown up. Lu tuh udah gede. Gak sepantasnya bersikap begitu. Jangan jadi pengecut. Jadilah seorang yang Gentleman. suara hatiku terus berbicara.

Ada benarnya juga sih. Tapi lihat nanti saja lah. aku sebaiknya sholat dzuhur dulu. Selesai sholat dzuhur kita lihat apakah aku berani untuk menelepon dia di kantornya. Maksudnya ke HP tapi dalam keadaan dia sedang ada dikantor. Kenapa aku berpikirna begitu. Karena seperti yang di katakan kemarin, jangan telepon ke kantor soalnya lagi sibuk. Kekantor maksudnya ke nomor kantor kan bukan ke HP.

Selesai sholat dzuhur aku bergegas menuju ke lantai dasar ke ruangan kantorku. Nanti aku pikir-pikir lagi apakah aku mau menelepon dia.

Sampai di ruangan kantorku aku putuskan untuk menelepon dia. Tapi telepon yang ada di ruanganku sedang dipakai semua. Wah sialan nih teman-temanku lagi pada pake semua. Mana waktu sudah hampir jam satu siang lagi. Bagaimana nih?

Akhirnya aku usir saja satu temanku yang sedang bertelepon ria. Nah sudah ada satu telepon yang kosong. Aku duduk kemudian mengumpulkan segenap keberanian untuk menelepon dia. Ku angkat gagang telepon kemudian kupencet tombol telepon. Nomornya sudah aku hafal banget. Terdengar nada sambung. Kemudian terdengan nada di seberang sana. Aku mulai bicara.

"Halo....". Sapaku
"Halo....". Dia mulai bicara.
"Hai......". Aku mulai dengan kata singkat. Sok kenal kamu padahal belum tentu dia tahu kamu yang telepon.
Telepon hening sejenak. Aku perkirakan dia sedang mencari tempat yang nyaman untuk menerima telepon.

"Halo.....". Terdengar lagi suaranya di seberang sana.
"Halo Elisa". Sapaku lagi.
"Sudah mulai sibuk ya...". Tanyaku
"Iya nih". Jawabnya
"Kalau aku telepon kamu di rumah boleh gak?". Tanyaku lagi.
"Telepon aja". Jawabnya. Hmmm berarti aku boleh telepon dia di rumah.
"Kamu sampai rumah jam berapa?". Aku bertanya lagi
"Tergantung". Jawaban yang menggantung.
"Hmmm malam kali ya". Aku ingin menegaskan.
"Bisa....". Jawabnya. singkat amat sih jawabannya. Tapi aku sangat mengerti. Mungkin dia gak enak terima telepon pas mau masuk jam kerja. Atau memang tidak mau terima telepon di kantor.

"Ok deh kalo gitu, makasih ya. Daaag". aku mengakhiri pembicaraan.
"youuuu". Jawabnya. Dari kemarin begitu terus jawabannya.

Aku tutup gagang telepon. Hmmm berarti aku harus telepon dia malam ini. Or Else dia gak percaya lagi sama omongan aku. Bagaimana ya caranya. Satu-satunya jalan aku harus telepon dia dari kantor. Biar gratis hehe. Tapi kan hari ini tidak ada pekerjaan. Apa alasanku kalau nanti ada orang yang tanya. Tapi memang kesempatan itu selalu datang. Ternyata hari ini ada pengisian barang ke truk yang akan berangkat ke Surabaya. Yes berarti aku ada alasan untuk berlama-lama di kantor.

Tapi bagaimana sikapnya ya nanti kalau aku telepon dia di rumah? Ah gimana nanti aja lah. Yang penting aku sudah usaha. Masalah hasil itu belakangan.

0 comments: